Mereka berumah tempat tidur, lalu apalagi?

Image

Saat itu saya bersama teman hendak bertamu dan menjalin silaturrahim, kepada ibu yang rumahnya berada di ujung lorong sempit nan gelap di pemukiman kecil penduduk yang nyaris dipagari istana (jika anda pernah ke ITS, anda pasti paham maksudnya). Kedua kalinya ini saya kesana dan saya nyaris lupa dengan jalannya. Akhirnya, setelah agak lama berputar-putar, kami menemukan lorongnya. Dan ketika kami tengah memasuki lorong tersebut, yang dipasangi selambu di ujungnya, kami cukup dibuat terkejut di baliknya. Dan sepertinya saat pertama saya kesini dulu, saya tak terlalu banyak memperhatikan keadaan sekitar lorong.

Di sebelah kanan saya persis, di sebelah lorong, tinggallah satu keluarga yang sedang tiduran di malam yang pekat dalam satu ranjang. Rumah mereka tak bersekat. Hanya atap dan sebuah ranjang lapuk. Pintu mereka adalah ujung lorong bertirai yang saya masuki. Betapa jauhnya mereka dari hak privasi dan keamanan. Kamar tidur itu mungkin mereka sebut rumah, karena barang mereka seperti kompor, rice cooker, sepatu dan baju, mereka taruh di depan ranjang. Pun dengan ditemani kardus-kardus, yang mungkin isinya barang berharga mereka yang tidak tahu harus dimana ditempatkan.

Teman saya bergumam, kehidupan ibu yang kami kunjungi setidak-tidaknya lebih baik. Meskipun sama kecil dan kumuh, tempat tinggalnya mengenal yang namanya pintu dan juga memiliki ruangan kecil untuk menyambut tamu. Kalau casenya penghuni rumah tempat tidur tadi, bisa jadi mereka menyambut tamu di atas ranjang mereka satu-satunya.

Ini baru yang berumah tempat tidur. Jauh disana, berkilo-kilo meter jauhnya pasti masih ada yang tinggal di tempat yang jauh lebih buruk. Bisa jadi dengan rumah tak beratap atau bahkan aspal jalanan adalah tempat tidurnya…

Di saat saya tidak puas dengan kehidupan saya, saya harus banyak menengok orang di bawah saya yang lebih banyak bersyukur dengan hidupnya yang sangat sederhana

Di saat saya mengeluh karena kesibukan akademis saya, saya diingatkan bahwa banyak sekali di luar sana yang tidak bisa mencicipi bangku kuliah

Di saat saya tertawa bahagia di suatu hari, maka setelah itu saya dihadapkan pada kesusahan orang kecil yang mencari makan dengan menadahkan tangan

Di saat saya menyayangkan kejujuran di negeri ini dimana sedang maraknya pejabat-pejabat yang koruptor, saya dipertemukan dengan tukang becak yang memanggil saya hanya karena uang seribu rupiah yang terjatuh dari tas ransel milik saya

Semoga bisa menjadi renungan. Betapa malunya kita jika tak sering bersyukur baik saat kita bahagia ataupun sedih.  Kita memang terlalu sering melihat orang yang lebih dari kita, dan kita juga terlalu lupa menatap saudara kita yang tak beruntung. Tapi, apakah hanya itu? Hanya renungan? Lantas?

Para pencinta sejati hanya mengenal satu pekerjaan besar dalam hidup mereka: Memberi. Terus menerus memberi. Dan selamanya begitu. Menerima? Mungkin, atau bisa juga jadi pasti! Tapi itu efek. Efek dari apa yang mereka berikan. Seperti cermin kebajikan yang memantulkan kebajikan yang sama. Sebab, adalah hakikat di alam kebajikan bahwa setiap satu kebajikan yang kita lakukan selalu mengajak saudara-saudara kebajikan yang lain untuk dilakukan juga. [Anis Matta, Indahnya Memberi]

Bukankah berbagi juga termasuk memberi? Ya, kini saatnya berbagi, kawan! Berbagi sedikit kebahagiaanmu dengan mereka. Adakah yang sudah kau bagi hari ini??

2 Comments Add yours

  1. Nisa berkata:

    Subhanallah mbak.. 😥

    di dekat kontrakanku juga ada yang semacam itu.. T__T

  2. saydha omi berkata:

    iya, untuk itu cita-cita mbak pokoknya harus bisa jadi muslim kaya. biar bisa lebih banyak berbagi ^_^. bismillah..

Tinggalkan komentar